DUA KALIMAH

Aku Baca Dengan Menyebut Nama-Mu

*takbir cinta*

Bismillahirrahmanirrahim..بِسْمِ-اللهِ-الرَّحْمنِ-الرَّحِيم




"Begini, Anakku. Uataz ada seorang pelajar yang sudah tiga tahun ini meninggalkan pondok. Dia pelajar yang dulu sangat disayangi Ustaz. Namanya Rahmad.Pendidikannya tidak tinggi. Ia hanya tamat Madrasah Aliyah. Tidak kuliah. Karena setelah itu dia mengabdi di pondok ini. Baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya bisa dilaksanakan. Ia dari keluarga biasa-biasa.
Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang jualan keropok. Dia duda tanpa anak.Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah. Itulah maklumat yang boleh aku berikan. Musyawarahkanlah dengan kedua orangtuamu dan kerjakanlah salat Istikharah. Jika kamu ingin dan tertarik, beritahukan Ummi. Nanti kita carikan jalan terbaik."

"Baiklah, Ummi. Terima kasih. Saya akan musyawarah dan Istikharah dulu. Saya pergi dulu Ummi, karena tadi kelas saya tinggalkan." Jawab Zahrana.
"Ya. Semoga barakah, Anakku!"
Zahrana berjalan ke kelas dengan telinga yang mendengungkan apa yang disampaikan ustazah:
"...Ia dari keluarga biasa-biasa. Anak kedua dari tujuh bersaudara. Pekerjaannya sekarang menjual keropok dimerata tempat. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun yang lalu karena demam berdarah...!"
Sambil berjalan ia meniru ucapan ustazah,
"Pekerjaannya sekarang menjual keropok dimerata tempat. Dia duda tanpa anak. Isterinya meninggal satu tahun!"
"Hmm penjual keropok dimerata tempat. Apakah memang takdirku jadi isteri seorang penjual keropok?"
gumamnya sendiri.
Ada dialog yang cukup serius dalam dirinya.
"Tapi meskipun penjual keropok. Ia adalah orang yang baik akhlak dan ibadahnya. Tanggung jawabnya mampu dilaksanakan. kan aku sudah bagitau  pada ustazah  bahwa status, setaraf, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya tidak jadi pertimbanganlagi. Yang aku inginkan adalah suami yang baik agamanya. Baik imannya dan boleh jadi teladan untukanak-anak kelak. Apakah aku harus mempersoalkan pekerjaannya yang cuma penjual keropok?"
Sampai di kelas ia tidak fokus mengajar.Akhirnya ia memberi pekerjaan kepada para siswa. Jam ketiga ia minta izin  pulang ke rumah dengan alasan ada kepentingan yang sangat penting berkaitan denganpermintaan ustazah. Jika alasannya ustazah, tidak ada yang berani membantah.
Sampai di rumah ia mengajak musyawarah ayah dan ibunya. Keduanya mendorongnya untuk maju.
"Kemuliaan hidup seseorang itu tidak karena pendidikannya atau pekerjaannya. Seseorang jika dimuliakan oleh Allah akan juga mulia di mata manusia."
Demikian kata ibunya.
Ia mulai mantap. Namun merasa masih belum cukup. Ia lalu menelefon Lina. Dari jauh Lina menjawab,
"Dia kan lulusan aliyah. Nanti jika kalian sudah menikah dan hidup bersama. Minta saja dia kuliah. Dengan begitu dia akan selesai pengajian dan jarak pendidikan tidak terlalu jauh. Dan sebenarnya dengan dia mengabdi di
pondok bertahun-tahun dia telah mendapatkan pelajaran hidup yang lebih matang dari mata kuliah di Program Pascasarjana sekalipun. Sudah mantaplah Ran.
Ustaz dan ustazah  pasti berusaha mengarahkan yang terbaik."
Mantap sudah hatinya. Niatnya sudah bulat. Untuk semakin memantapkan ia pun Istikharah. Setelah Istikharah rasa mantapnya semakin besar. Hari itu juga ia menelpon ustazah dan menjelaskan kemantapannya.
Ustazah menjawab,
"Baiklah sila bagi alamat rumahmu!"
"Saya tinggal di ...sekian3...
"
"Besok satu hari penuh jangan ke mana-mana. Pak Kiai akan meminta si Rahmad itu menjual ke perumahan di mana kau tinggal. Kau belilah keropok darinya, dan kau boleh bertanya apa saja padanya. Biasa saja. Dia tidak tahu apa-apa masalah ini. Dengan begitu kau bisa tahu dengan jelas calon suamimu itu. Jika kau masih Juga mantap, maka boleh diteruskan. Jika tidak ya tidak apa apa."
"Baik ustazah." Jawabnya.
Dari situ ia tahu betapa adilnya ustazah. Betapa bijaksananya ustazah. Betapa ustazah memang tidak mau memaksa. Ia kemudian jadi takut. Jangan jangan ia yang nanti mahu, tapi si penjual keropok itu justeru yang tidak mau dengan alasan minder dan lain sebagainya. Ia mendesuh nafas panjang. Biarlah waktu yang menjawabnya, desuhnya.
* * *
Hari berikutnya Zahrana benar-benar tidak ke mana mana sejak pagi. Hari itu ia tidak mengajar demi mengejar takdir. Ia menunggu di ruang tamu.Terkadang juga di beranda. Sesekali ke jalan. Penjual keropok itu tidak juga datang.
Jam sebelas tengah hari  seorang penjual keropok datang.
"Keropok! keropok!" Suara penjual kerupuk itu membahana. Hari Zahrana sedikit lega. Ia menunggu.Suara itu semakin mendekat. Semakin mendekat. Ia keluar ke beranda. Begitu penjual kerupuk sampai di depannya, ia berteriak,
"Keropok Pak!"
Penjual keropok itu menghentikan langkah. Tempat keropok yang dipikulnya ia turunkan. Zahrana terperanjat. Sudah tua. Ia mengagak umurnya mendekati lima puluh tahun. Kulitnya hitam legam tersengat matahari. la hampir menangis.
"ya cik, beli berapa?"
"3ringgit bang."
"Baik cik."

Penjual kerupuk itu mengambil keropok dan memasukkan ke dalam plastik lalu menyerahkan kepada Zahrana. Zahrana mengeluarkan wang 10 ringgit
"Ada duit kecil cik?"
"em tak ada lah ."
"Aduh macammana ya cik. Saya tak ada baki. begini cik bawa dulu saja keropok. Bila-bila kalau saya datang cik bayar."
"E jangan bang. begini abang bawa saja. Itu sedekah saya untuk abang."
"Baik cik kalau begitu. Minta diri dulu ya cik. Semoga keinginan cik dikabulkan Allah."
"Amin." Dalam hati Zahrana berdoa ingin suami yang saleh dan sesuai bagi dirinya.
setelah penjual keropok itu pergi, Zahrana langsung menghubungi Lina sambil menangis. la menceritakan penjual keropok yang baru ditemuinya.
"Apakah dalam pandangan ustaz dan ustazah, saya memang sesuai untuk penjual keropok yang tua itu?" Nada Zahrana terdengar sedih.
"Tenanglah Rana. Kau sudah tanya sama Pak Tua itu
siapa namanya?"
"Tidak terpikir Lin. Sama sekali tidak terpikir bertanya namanya tadi. Aku sudah syak dulu tahu penjual itu sudah tua. Tidak seperti yang aku bayangkan."
"Ya sudah. Kalau begitu kau sabar saja. Yang jelas,tidak mungkin ustazah dan ustazah sanggup menjerumuskanmu.

Ini kan masih siang. Kau tunggu saja. Aku yakin yang dikirim ustaz pasti baik. Pokoknya kamu jangan ke mana-mana ya. Tunggu sampai malam datang. Mahu dapat suami soleh harus sabar ya." Lina berusaha  menenangkan dan menguatkan.
"Terima kasih Lin. Semoga yang kaukatakan benar."
Zahrana kembali menunggu. Nyaris satu hari penuh Zahrana menunggu dengan perasaan sedih, jengkel,marah juga berharap. Belum pernah ia sepegal itu. la dulu pernah mendapatkan pangkat mahasiswa teladan Universiti Islam kini menunggu datangnya seorang penjual keropok. Begitu pentingnya penjual keropok itu.Tapi inilah takdir hidupnya. Ia merasa ia harus sabar.Sampai senja tiba, tukang keopok selain yang pertama  belum datang. Ia menangis. Jika benar, yang dikirim ustaz adalah Pak Tua tadi, maka ia merasa menjadi perempuan paling menderita di dunia. Sampai ustaz dan ustazah yang dia anggap orang yang sangat arif pun, berpendapat bahwa ia sesuai dengan lelaki berkepala lima. Sudah sedemikian tidak berharganya dirinya.Ia masuk rumah. Lima belas menit lagi azan Maghrib berkumandang. Ia cemas dan galau. Tak ada penjual keropok yang datang kecuali Pak Tua tadi. Ia bingung.Ia lemas. Ia keluar lagi. Berharap ada penjual keropok lain yang datang. Penjual keropok seperti yang ia bayangkan. Ia duduk di kursi beranda. Airmatanya bercucuran,
"Ya Ilahi jika aku punya dosa, ampunilah dosaku.Cukupkanlah ujian-Mu. Aku mohon mudahkanlah jalanku menyempurnakan separuh agamaku sesuai syariat-Mu.
Mudahkan diriku menyempurnakan ibadah kepada-Mu."Ia lalu bangkit masuk rumah lagi. Tak ada siapasiapa di rumah. Ayah dan ibunya sedang ke rumah sepupunya yang memiliki hajat  di Pucang Gading.
Baru saja masuk, ia mendengar suara nyaring,
"Keropok-keropok! Keropok Pak! Keropok cik!"
Ia terperanjat dan bergegas keluar. Suaranya lebih tegas dan lantang. Ia lari. Penjual kerupuk itu telah melewati rumahnya. Ia melongok dari pagar. Penjual keropok itu hanya tampak punggungnya. Ia naik basikal dan mengayuh basikalnya dengan cukup kencang.
Zahrana jadi penasaran. Dengan cepat ia nyalakan suiz motornya yang berdiri di beranda. Lalu bergegas mengejar. Tak perlu waktu lama agar penjual keropok itu terkejar. Apa susahnya bagi motor untuk mengejar basikal. Ketika sudah dekat ia berteriak,
"Kerupuk, bang!"
Penjual keropok itu menepi menghentikan basikalnya.Ia melakukan hal yang sama. Penjual keropok itu membuka topi lebarnya dan mengipas-ngipaskannya ke tubuhnya. Disini memang panas, meskipun hari telah senja. Zahrana terperanjat. Masih muda dan gagah.Keringat yang mengalir, lengan yang kekar terbakar matahari menambah pesona tersendiri. Sesaat lamanya ia memandangi penjual keropok itu.
"Iya cik, beli berapa?"Ia tegaman
"E...lima ringgit."
Penjual keropok itu mengambil plastik hitam besar dan memenuhinya dengan keropok.
"Ini cik"
Ia mengambil keropok dan mengulurkan wang 10 ringgit. Penjual keropok itu menerima wang itu dan menghitung wang bakinya.
"Ini bakinya cik. Lima ringgit ."
Zahrana menerima dengan tangan kanannya. Sementara tangan kirinya memegang kantung plastik berisi keropok. Penjual bersiap meneruskan perjalanan.
"E, Sebentar, bang." Zahrana menghentikan.
"Ya cik, ada apa? Apa wang bakinya kurang?"
"Tidak lah bang . Mau tanya, sudah lama menjual keropok ya bang? Nampak gaya baru ke daerah ini."
"Iya cik. Sudah lama. Saya memang baru kali ini ke daerah ini. Biasanya saya beroperasi di daerah Mranggen, Plamongan Indah, Pucang Gading dan Penggaron saja,"
"O. Ini cari pelanggan baru ya?"
"Boleh jadi ya,boleh jadi tidak."
"Kenapa begitu."
"Biasanya bisness saya sudah laku di timur, tidak perlu sampai ke kampung ini. Saya menjual ke sini hanya karena menunai hajat saja sama ustaz. Ustaz saya itu aneh, tiba-tiba saya diminta menjual di daerah ini, di perumahan ini. Dan anehnya ustaz bagitahu hari ini saja.
Besok-besok terserah."
Jantung Zahrana berdegup kencang. Azan Maghrib mengalun.
"Boleh tahu, siapa nama abang?"
"Nama saya Rahmad cik. Sudah ya cik saya jalan dulu.Sudah Maghrib, saya harus cari masjid."
Penjual kerupuk itu mengayuh basikalnya ke arah suara azan berkumandang. Zahrana memandang punggungnya sampai hilang di kejauhan.
"Diakah jodoh yang ditakdirkan Allah untukku?"tanyanya dalam hati.Ia lalu kembali ke rumahnya. Sampai di rumah ayah ibunya sudah ada di rumah.
"Dari mana Rana? Ini rumah ditinggal pergi tapi pintu terbuka tak dikunci? Jangan leka kamu!" tegur ibunya serius.
"Dari mengejar penjual keropok mak . Cuma sebentar mak." Jawab Zahrana tenang.
"Penjual keropok yang dikirim ustazah itu?" tanya ibunya dengan mata berbinar.
"Iya mak."
"Bagaimana orangnya? Ganteng? Kau cocok?"
"He mak ni semangat sangat. Yang jelas orangnya baik. Yang lain nanti kita musyawarahkan!"
"Iya. Iya. Baik."
Zahrana lalu masuk kamarnya untuk siap-siap solat Maghrib. Sebelum ia mengambil air wudhu hpnya berdering. Sebuah SMS masuk. Ia buka,
"Ass wr wb. Puan ini Hasan. Alhmdulillah tadi sy sdh Konvo. Dan alhmdulillah sy dinobatkan sbg mhsw terbaik. Ini jg berkat doa dan bimbingan puan. Trm ksh sdh mmnjamkn referensi dll. Mhn doanya. Wassalam."
Ia tersenyum. Ia bahagia membaca SMS itu. Bagaimana tidak bahagia jika ada seorang murid yang berhasil tidak lupa pada gurunya. Ia teringat saat dulu konvo
di Universiti islam dan menjadi lulusan terbaik di Fakultinya.Saat itu ia sangat bahagia. Dan itu pula yang saat ini sedang dirasakan mahasiswanya, Hasan. Ia teringat Nina. Bagaimana dengan Nina? Nina tak kalah hebatnya dengan Hasan. Tiba-tiba ia tersenyum
simpul. Hasan dan Nina itu cocok. Kalau mereka menikah itu pas. Hasan ganteng, Nina cantik. Sama sama aktivis. Sama-sama cerdas dan bisa diandalkan.
* * *
Setelah Zahrana melakukan kroscek pada ustazah,memang penjual keropok yang masih muda itulah yang dimaksud ustaz. Umurnya 29 tahun. Jadi lebih muda empat tahun dari Zahrana. Setelah memikir dan menimbang tiga hari lamanya Zahrana merasa cocok.
Ayah dan ibu Zahrana pun cocok. Barulah setelah itu Ustaz dan ustazah mempertemukan dua keluarga.Mulanya si Rahmad merasa minder. Tapi ustazah berhasil meyakinkan Rahmad untuk tidak minder. Pada Rahmad ustaz berkata,
"Zahrana ini, meskipun berpendidikan tinggi tapi ia rendah hati. Yang jadi pertimbangan Zahrana dalam mencari suami bukan materi, status, setaraf, kedudukan sosial, pendidikan dan lain sebagainya. Yang jadi pertimbangan Zahrana adalah agama, iman dan akhlak.Insya Allah, ia gadis solehah yang mampu menghormati suaminya. Jadi kamu jangan minder!"
Akhirnya Rahmad juga menyatakan cocok. Jadilah dua keluarga itu cocok. Saat musyawarah dua keluarga itu,Zahrana mengutarakan keinginannya untuk mempercepat pernikahannya. Usul Zahrana diterima dengan penuh semangat oleh dua keluarga.
"Semakin cepat semakin baik. Insya Allah semakin cepat juga semakin barakah!" Demikian ustaz memberi pandangan. Dan ditetapkanlah hari  pernikahan Rahmad dengan
Zahrana dua minggu setelah pertemuan itu. Dua keluarga itu langsung didera kesibukan menyiapkan pesta pernikahan itu. Kerana Zahrana anak tunggal, Pak Munajat ingin semua teman lama dan saudara diundang.Dengan kerja keras, dalam waktu relatif singkat
undangan pernikahan tersebar. Zahrana mengundang semua temannya. Yang tidak bisa dikirim undangan diberitahu lewat email dan SMS . Ia juga mengundang mahasiswanya yang ia kenal. Mereka ia undang melalui SMS. Para mahasiswanya mengirim balasan dengan nada sangat gembira dan memastikan mereka datang.

Namun dua orang mahasiswa yang ia harapkan datang, yaitu Nina dan Hasan malah tidak boleh datang.
Nina mengirim balasan:
"Trm ksh puan atas undangannya. Smg prnikhnnya barakah. Maaf sy tdak bisa datang sbb pada hari yang sama saya jg akan melangsungkn akad nikah di ...
Saling mendoakan ya puan. Nina." Ia bahagia, Nina langsung menikah begitu selesai pengajiannya.Tapi sedikit kecewa karena Nina tidak menikah dengan Hasan. Seperti yang ia cadangkan. Ia langsung sedar, idea di mata manusia itu berbeza dengan idea di mata
Allah Swt.
Sementara Hasan mengirim balasan,
"Smg prnkhan Ibu pnh barakah. Maaf sy tdk bs datang Puan. Sbb hari itu saya  mengurus beasiswa pengajian.USM (Universiti Sains Malaysia). Mohon doanya."
Kabar yang membuatnya bahagia. Mahasiswa penuh Dedikasi seperti Hasan memang pantas mendapatkan beasiswa. Dalam hati ia berdoa semoga semua mahasiswanya berhasil dan berjaya.Tak ketinggalan ia juga mengundang teman temannya
sesama pejabat waktu mengajar di kampus Fakulti Teknik. Semua ia undang termasuk puan Merlin.Hanya Pak Karman yang tidak. Ia tak ingin hari bahagianya rosak dengan melihat badut tua yang tidak ia suka itu.
Namun mau tidak mau Pak Karman tahu juga khabar itu.Dan ia juga tahu bahwa hanya ia seorang di kampus yang tidak diundang. Hal itu membuatnya marah dan geram.
"Jangan sebut aku ini Karman jika tidak boleh memberi pelajaran pahit pada perempuan tengik itu!"
Geramnya sambil memukul meja di ruang kerjanya.Empat Hari pernikahan Zahrana semakin dekat. Zahrana telah memilih gaun pengantinnya. Gaun pengantin Muslimah
hijau muda yang sangat anggun. la memang suka warna hijau muda. Gaun pengantin itu ia beli dari butik Muslimah terkemuka di Solo.petangitu, ia cuba gaun itu di kamarnya. Sambil memandang wajahnya ke cermin ia berkata,
"Akhirnya aku akan jadi pengantin juga. Aku akan punya suami. Aku akan hidup membina rumah tangga layaknya yang lain."
Hatinya berbunga-bunga. la bahagia. Jika boleh meminta ia masih ingin meminta akad nikah dan walimatul ursy-nya. dipercepat lagi saja. Ia ingin segera mengatakan pada dunia bahwa ia juga berhak hidup wajar seperti yang lainnya. Hidup berkeluarga.
Memiliki suami yang baik dan setia. Dan kelak memiliki anak anak yang menjadi penyejuk jiwa. Tiba-tiba hp-nya. berdering. Satu SMS masuk,
"Apa kabar perawan tua? Jika kau telah beli gaun pengantin. Sebaiknya kaukembalikan saja. Kau tak akan memakainya di hari pernikahan yang telah kautentukan.Kau masih akan lama menyandang statusmu sebagai perawan tua. Bukankah jadi perawan tua itu indah. Tiap saat dilamar banyak orang dan bisa dengan semena mena menolaknya. Kenapa kau tidak menikmatinya saja? Kenapa tergesa-gesa? Demi kebaikanmu sendiri, sebaiknya kaukembalikan saja gaun pengantinmu itu. Jadilah perawan tua selamanya."
Ia terkejut. SMS berisi kata-kata hasad  itu muncul lagi.Entah kenapa, kali ini ia tidak setenang dulu menghadapai SMS si hasad itu. Kali ini ia sangat marah.Rasanya ia ingin membunuh orang yang mengirim SMS kurang ajar itu. Dengan sangat geram ia membalas,
"Semoga laknat Allah mengenaimu hai iblis tua! Semoga kau menemui ajalmu dalam keadaan hina di mata manusia!"
* * *
Persiapan peralatan akad nikah dan walimatul ursy di rumah Zahrana hampir sempurna. Besok acara pernikahan itu akan berlangsung. Rumah itu kini ramai dengan orang. Anak-anak kecil berlari bermain kejar kejaran.
Pembesar suara telah dipasang. Lagu-lagu khas pesta pernikahan dinyalakan. Petang itu syair lagu dari group kasidah Nasyida Ria berkumandang,

Duhai senangnya pengantin baru.
Duduk bersanding bersenda gurau.
Zahrana tersenyum. Besok ia akan mengalaminya. Duduk bersama dengan suaminya. Zahrana ingin membantu kaum ibu di dapur menyiapkan segala sesuatu. Tapi mereka meminta Zahrana istirahat saja.

Maka setelah solat Isya ia langsung tidur, agar besok ia benar-benar fresh dan segar.Lagu-lagu bahagia masih mengalun. Di luar kamarnya kesibukan terus berjalan sebagaimana mestinya. Anak anak kecil tertawa-tertawa bahagia.Mereka berlarian sambil memegang kueh di tangannya.Zahrana tidur dalam kebahagiaan tiada terkira. Lagu yang terakhir ia dengar adalah alunan suara Nasyida Ria,

Duhai senangnya pengantin baru.
Duduk bersanding bersenda gurau.

Ia benar-benar tidur pulas dan nyenyak. Jam setengah tiga malam ia dibangunkan. Tidur bahagianya hilang. Ia kaget ada keributan. Ibunya menangis menjerit-jerit seperti orang kesurupan. Bapaknya terpekur di kursi seperti patung. Linalah yang membangunkannya.
"Ada apa ini Lin?" tanyanya heran. Ada kecemasan luar biasa yang tiba-tiba masuk dalam hatinya.Lina yang ia tanya malah menangis.
"Rahmad Rana? Rahmad calon suamimu Rana!"
"Ada apa dengan Rahmad?"
Lina tidak menjawab malah semakin keras terisakisak.Paman Rahmad yang ternyata ada di situ menjawab,
"Rahmad telah tiada, Anakku! Rahmad meninggal dunia!"
"Apa!!?" Ia kaget bagai tersengat listrik beribu-ribu volt.

"Rahmad mati dilanggar kereta api!" lanjut Paman Rahmad.
"Oh tidak! Tidak! Tidaaak!" Zahrana menjerit histeris. Jeritannya menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Setelah itu ia pengsan seketika. Semua yang ada di rumah itu terpukul. Para tetangga Zahrana yang mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi ikut sedih dan meneteskan airmata.
Para tetangga itu lalu bertanya satu-sama-lain,
"Kenapa ini bisa terjadi? Bagaimana Rahmad boleh dilanggar kereta api? Di malam menjelang akad nikah, bukankah sebaiknya ia di rumah saja istirahat? Kenapa bisa sampai dilanggar kereta api? Apa yang ia lakukan sebenarnya?"
Paman Rahmad menjelaskan,
"Habis shalat Maghrib tadi ada yang menelpon hpnya.Katanya teman lama ingin bertemu di Pasar Mranggen. Rahmad minta temannya itu datang ke rumah saja. Tapi temannya itu mengatakan tidak bisa. Temannya itu memaksa Rahmad pergi menemuinya. Karena berkaitan dengan bisnis yang sangat penting. Dan Rahmad akan diajak sedikit mengetahui prospeknya. Akhirnya Rahmad pergi. Sekalian beli peci baru.

 Sebenarnya keluarga melarang, tapi Rahmad memaksa pergi. Ia memaksa pergi sendirian. Saudara sepupunya mau ikut bersamanya tapi dilarangnya dengan alasan tenaga saudara sepupunya itu sangat dibutuhkan di rumah. Sampai jam sepuluh malam Rahmad belum juga pulang.
Sebagian orang cemas, sebagian yang lain marah,Rahmad tidak segera pulang malah begadang dengan temannya yang tak dijelaskan siapa.Tepat tengah malam tadi dua orang polis datang.Mereka memberitahu ada mayat dilanggar kereta api,
dan dari IC di dompetnya diketahui bernama Rahmad.Sebagian orang memastikan ke tempat kecelakaan. Dan benar mayat yang berlumuran darah itu memang Rahmad."
Mendengar cerita itu semua diam. Semua membisu.Semua larut dalam kesedihan yang dalam. Zahrana masih pengsan.
***
Pagi harinya bukan pesta pernikahan yang digelar tapi upacara kematian. Tak ada lagu bahagia.Tak ada senyum dan canda. Tak ada gelak tawa. Yang ada adalah mata yang berkaca-kaca dan rinai tangis dalam jiwa.Zahrana belum bisa menerima apa yang terjadi. Ia masih pengsan berkali-kali. Lina berinisiatif membawa Zahrana ke rumah sakit. Zahrana harus dijauhkan dari suasana yang masih diselimuti sedih itu. Zahrana harus dijauhkan dari rumahnya, di mana ia siap melangsungkan akad nikah, namun tiba-tiba
menciptakan trauma baginya.

Lina membawa Zahrana yang masih pingsan ke hospital. Roemani. Lina memilihkan kamar VIP agar Zahrana bisa beristirahat dengan nyaman. Menjelang Zuhur Zahrana sedar. Lina ada di sampingnya menenangkan. Setelah minum air putih tiga teguk Zahrana menangis.

"Lebih baik aku mati saja Lin. Aku nyaris tidak kuat!"
katanya dalam pelukan Lina dengan terisak-isak.
"Sebut nama Allah ya Rana! Sebut nama Allah! Ingatlah Allah! Bersabarlah! Mintalah kepada Allah agar musibah ini diberi ganti yang lebih baik." Lina mencoba menguatkan.
"Tapi aku bisa gila Lin. Aku bisa gila! Aku shock! Daripada aku gila lebih baik aku mati saja!"
"Tidak, kau tidak akan gila. Kau akan baik-baik saja.Percayalah ini ujian dari Allah untuk memilihmu menjadi kekasih-Nya."
"Tak tahu aku harus bagaimana Lin."
"Sudahlah kau istirahat dulu. Tubuhmu sangat lemah.Banyaklah berzikir. Dengan banyak berzikir hati akan tenang!"
Dengan setia Lina menemani Zahrana. Segala usaha ia kerahkan untuk menghibur teman karibnya itu.
"Anakmu bagaimana Lin, kalau kau di sini?" tanya Zahrana.
"Tenang sudah ada yang mengurus. Anakku sedang bersama kakek dan neneknya di Ungaran." Tiba-tiba airmata Zahrana kembali keluar.
"Bahagianya punya anak. Kau beruntung Lin. Punya suami baik. Anak lucu-lucu. Keluarga besar yang penuh kasih sayang. Sementara aku. Jangankan anak. Suami saja tidak punya. Baru mau punya sudah pergi...."


diedit dari novel indonesia 
huzaifah
gombak selangor



 ¤ ittaqullah ¤